Mitos Gerhana Bulan dari Berbagai Penjuru Dunia
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 7-8 September 2025, hampir seluruh penjuru bumi berkesempatan menyaksikan fenomena gerhana bulan. Namun sebelum adanya perkembangan teknologi astronomi seperti yang kita miliki saat ini, terdapat banyak kisah-kisah dan tradisi yang dikembangkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut. Apakah ada kisah tentang gerhana bulan yang Sahabat LBI pernah dengar? Untuk mengetahui selengkapnya, yuk kita cek bahasan berikut ini!
Benua Asia
Kisah-kisah terkait gerhana bulan yang umumnya tersebar di negara-negara Asia biasanya melibatkan kemunculan sosok makhluk mitologis seperti naga dan dewa. Salah satu contohnya terdapat di Filipina dan Cina (tepatnya Tiongkok Kuno), yang keduanya memiliki kepercayaan turun temurun bahwa gerhana bulan terjadi karena adanya sosok naga yang memakan bulan. Perbedaan antara kisah yang tersebar di kedua negara itu adalah orang Filipina akan menggunakan suara keras–seperti bebunyian lonceng, drum dan panci–untuk mengusir naga, sementara orang Tiongkok Kuno akan menembakkan panah ke langit.
Rakyat Jepang dan India pun memiliki kepercayaan yang serupa atas fenomena gerhana bulan ini, yaitu adanya peracunan makanan saat momen gerhana bulan itu terjadi. Orang Jepang pada zaman dahulu meyakini warna merah pada bulan yang tampak pada saat gerhana bulan adalah pertanda bahwa bulan sedang mengalami keracunan, dan racun tersebut akan jatuh ke bumi. Baik rakyat India maupun Jepang saat itu melakukan pencegahan dengan cara tidak mengkonsumsi makanan dan menutup sumur-sumur air ketika gerhana bulan sedang berlangsung.
Sementara itu, di Bali terdapat sebuah kepercayaan bahwa gerhana bulan terjadi karena adanya perselisihan antara Kala Rau, yaitu seorang raksasa, dengan Dewi Ratih yang merupakan dewi bulan. Perselisihan itu akan diakhiri dengan Kala Rau yang berusaha menelan Dewi Ratih, tetapi berhasil digagalkan oleh para penduduk Bali yang mengganggu Kala Rau dengan cara memukul-mukulkan lesung. Kisah yang hampir serupa pun tersebar di daerah Jawa, dengan perbedaan sosok yang diyakini oleh masyarakat Jawa telah menelan bulan adalah sang Batara Kala, yaitu dewa waktu dan kematian.
Benua Afrika
Masyarakat Afrika memiliki cara pandang yang cukup menarik terhadap fenomena gerhana bulan. Di antara komunitas Batammaliba di Togo dan Benin, gerhana bulan dilihat sebagai simbol konflik antara matahari dan bulan. Sementara di wilayah lain seperti Nigeria, suku Yoruba percaya bahwa gerhana adalah peringatan dari leluhur. Dalam menghadapi gerhana, mereka akan melakukan ritual pembersihan spiritual, doa, dan puasa untuk menetralkan energi buruk.
Apakah Sahabat LBI sering mendengar kisah tentang Dewa Ra? Nah, selain kisah tentang dewa matahari itu, masyarakat peradaban Mesir Kuno juga memiliki interpretasi tersendiri terhadap fenomena gerhana bulan. Sebagian teks Mesir Kuno mengaitkan gerhana bulan dengan adanya gangguan terhadap Dewi Maat, yaitu sosok personifikasi dari konsep keadilan dan keteraturan alam semesta. Sama seperti pada sebagian daerah lain di benua Afrika, para pendeta Mesir Kuno juga akan melakukan upacara ritual untuk memulihkan keseimbangan.
Benua Amerika
Dalam kepercayaan suku Inca di Amerika Selatan, gerhana bulan diyakini terjadi karena serangan jaguar langit terhadap Dewi Bulan. Untuk mengusir sang jaguar, masyarakat Inca akan membuat suara gaduh dan melepaskan anjing-anjing mereka ke luar rumah. Berbeda dari beberapa kisah gerhana bulan sebelumnya yang melibatkan kemunculan sosok mitologis, Suku Maya di Amerika Tengah memiliki kepercayaan bahwa fenomena gerhana bulan dapat membawa bahaya bagi ibu hamil dan anak-anak. Untuk perlindungan, masyarakat menggunakan benda logam atau jimat, serta menghindari banyak beraktivitas selama gerhana berlangsung. Sementara itu di Amerika Utara, suku Hupa dan Luiseño percaya bahwa gerhana terjadi karena bulan sedang mengalami sakit. Mereka menyanyikan lagu-lagu sebagai bentuk dukungan spiritual dan harapan akan kesembuhan bulan.
Benua Eropa
Jika Sahabat LBI pernah menonton film ataupun seri televisi tentang vampir, tentu tidak asing dengan konsep ritual-ritual yang dilakukan oleh para makhluk tersebut saat gerhana bulan. Kepercayaan akan vampir memang sering dikaitkan dengan gerhana bulan, terutama di wilayah Eropa Tengah. Di Rumania, misalnya, gerhana dapat dianggap sebagai momen ketika vampir mendapatkan kekuatan lebih besar karena tidak adanya cahaya bulan sebagai pelindung. Cahaya bulan dianggap sebagai pelindung manusia dari kekuatan gelap, dan hilangnya cahaya tersebut karena adanya gerhana diyakini sebagai celah bagi kekuatan iblis untuk muncul. Oleh karena itu, saat gerhana berlangsung, banyak keluarga akan menyalakan lilin, menggantung bawang putih, dan menutup jendela rapat-rapat.
Selain vampir, ada pula kisah mengenai perubahan manusia serigala yang tidak kalah populer. Terhadap kisah yang beredar di wilayah Eropa pada abad pertengahan ini, masyarakat pada saat itu meyakini bahwa ketika bulan mengalami transisi warna menjadi semerah darah, manusia serigala pun berubah menjadi lebih kuat, lebih buas, dan tak terkendali.
Benua Australia
Di wilayah Australia dan Oseania, sebagian masyarakat adatnya juga memiliki penafsiran unik atas fenomena gerhana bulan. Misalnya, suku Yolngu di Arnhem Land yang memaknai gerhana bulan sebagai simbol pertemuan antara bulan (laki-laki) dan matahari (perempuan). Berbeda dengan Yolngu, suku Arrernte menganggap gerhana sebagai pertanda buruk–mereka percaya bulan sedang diserang oleh roh jahat atau makhluk gaib. Ketika gerhana terjadi, masyarakat menghindari kegiatan yang mengharuskan mereka keluar rumah, menyalakan api, dan berbicara keras. Beberapa kelompok Noongar di Australia Barat pun meyakini bahwa gerhana terjadi ketika roh-roh jahat mencoba mengganggu perjalanan bulan. Untuk menangkalnya, mereka akan membakar tanaman khas seperti daun eukaliptus dan membacakan nyanyian atau doa leluhur sebagai ritual pengusiran roh dan perlindungan.
Adanya kisah-kisah mengenai gerhana bulan dari berbagai belahan dunia ini mencerminkan keragaman cara manusia dalam memahami fenomena alam. Meskipun banyak perbedaan narasi dan penggunaan simbol, kisah-kisah di atas dapat menjadi contoh bagaimana penginterpretasian gerhana bulan dari sebuah fenomena alam menjadi kisah-kisah mitologis, spiritual, atau bahkan kisah dengan moral yang telah diwariskan secara turun temurun. Dengan adanya perkembangan teknologi dan pengetahuan akan fenomena astronomi, kisah-kisah gerhana bulan tersebut kini menjadi suatu kenangan warisan budaya dari berbagai penjuru dunia.
Penulis: Ross Roudhotul J. (Sastra Belanda 2022)