Xenoglosofilia: Fenomena Kesukaan yang Berlebih Terhadap Bahasa Asing
“Honestly, gue tuh enggak suka sih, ngomong pakai bahasa Indonesia. Gue prefer pakai bahasa Inggris, but mostly temen gue pakenya bahasa Indonesia. Jadi, mau enggak mau, terpaksa deh, gue pakai bahasa Indonesia juga. ”
Waduh, campur-campur begitu bahasanya. Udah kayak gado-gado aja!
Sahabat LBI, pernah enggak menemukan fenomena yang serupa? Ketika seseorang berbincang dengan menggunakan dua bahasa atau lebih dalam satu waktu, hal tersebut disebut dengan istilah ‘campur kode’. Biasanya fenomena ini terjadi di kalangan remaja, terutama di kalangan generasi Z. Saat ini, fenomena campur kode banyak terjadi pada remaja di daerah Jakarta Selatan, sampai-sampai muncul istilah “Bahasa Jaksel”, loh! Dalam hal ini, biasanya mereka mencampurkan penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, seperti contoh yang terdapat pada kutipan di atas.
Eksistensi dari fenomena ini tentunya memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya yaitu masyarakat menjadi lebih mahir dalam berbahasa, dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, serta mampu meningkatkan pengetahuan kosakata. Namun, di balik dampak positifnya, terdapat pula dampak negatif yang cukup berbahaya sebagai akibat dari kemunculan fenomena ini. Dampak negatif yang timbul yaitu kecenderungan masyarakat yang menjadi lebih suka menggunakan bahasa Inggris, dan pandangan masyarakat–terutama kalangan remaja–yang menganggap bahwa bahasa Inggris jauh lebih gaul dan keren dibandingkan bahasa Indonesia. Selain itu, kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam berbahasa Indonesia pun bisa saja menurun karena masyarakat memiliki kecenderungan mencampurkan kode bahasa atau bahkan lebih banyak menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia.
Fenomena penggunaan bahasa asing yang berlebihan ini disebut dengan istilah ‘xenoglosofilia’. Menurut Ivan Lanin, dalam bukunya yang berjudul Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?, istilah xenoglosofilia berasal dari bahasa latin, yakni xeno yang berarti “asing”, gloso yang berarti “bahasa”, dan filia yang berarti “suka”, sehingga xenoglosofilia dapat diartikan sebagai “kesukaan yang berlebihan terhadap bahasa asing” (Lanin, 2018). Biasanya, seseorang dengan xenoglosofilia cenderung mencampurkan istilah-istilah bahasa asing ketika berkomunikasi atau berbahasa, dalam hal ini yang umum terjadi ialah campur kode penggunaan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Disadari atau tidak, fenomena xenoglosofilia sudah marak terjadi di kehidupan kita, bahkan tidak sedikit warga negara Indonesia yang lebih memilih atau lebih menyukai untuk menggunakan bahasa asing dalam kegiatan sehari-harinya. Padahal perlu dipahami bahwa meskipun mempelajari atau menggunakan bahasa asing itu memang baik dan perlu, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadikan kita lupa terhadap bahasa milik kita sendiri. Sebagaimana tercantum dalam trigatra bangun bahasa yang berbunyi “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”, secinta apapun kita terhadap bahasa asing, kita tetap harus mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa dari bangsa kita sendiri. Jangan sampai bahasa Indonesia punah dan tergantikan oleh bahasa lainnya ya, Sahabat LBI!
Penulis: Zahra Raudhatul Jannah (Pemagang MBKM LBI FIB UI 2024)