Samurai, Ksatria dalam Lintasan Sejarah Jepang
Jika Sahabat LBI suka membaca atau menonton fiksi Jepang, mungkin Sahabat LBI akan sering menemukan sosok samurai yang menjadi bagian dari ceritanya, baik sebagai tokoh utama ataupun pendamping. Namun, sosok samurai bukan hanya sekedar ksatria yang lihai dalam memainkan seni pedang, lho! Dalam sejarah Jepang, samurai memainkan peran sentral dalam transformasi politik dan sosial Jepang selama lebih dari tujuh abad. Dari medan peperangan hingga ruang administrasi, kehadiran mereka dari masa ke masa yang tercatat dalam sejarah mencerminkan dinamika kekuasaan serta pembentukan nilai-nilai luhur. Berikut perkembangan peran para samurai dari masa ke masa.
- Zaman Kamakura (1185–1333)
Munculnya Keshogunan Kamakura menandai pergeseran kekuasaan dari aristokrasi istana di Kyoto ke tangan militer di bawah kepemimpinan Minamoto no Yoritomo. Pada zaman ini, samurai bukan hanya berperan sebagai tentara bayaran, tetapi juga simbol loyalitas terhadap tuan mereka (daimyo) dan manifestasi dari sistem feodal awal. Pedang–terutama katana–mulai berfungsi tidak hanya sebagai senjata, melainkan sebagai simbol status sosial dan kehormatan.
- Zaman Muromachi (1336–1573)
Keshogunan Ashikaga yang berpusat di Muromachi, Kyoto, tidak mampu mempertahankan stabilitas seperti yang diciptakan oleh para pendahulunya. Kekuasaan politik terfragmentasi dengan banyak daimyo yang memerintah wilayah mereka secara otonom. Samurai pun menjadi bagian dari kekuatan militer pribadi para daimyo, menciptakan sistem relasi kuasa yang lebih kompleks. Seni bela diri seperti Kendo dan Kyudo berkembang pesat pada masa ini, dan kode etik bushido (jalan samurai) yang menekankan kesetiaan, keberanian, dan kehormatan, menjadi pedoman hidup bagi para Samurai.
- Zaman Sengoku (1467–1603)
Dalam era konflik tanpa henti ini, para daimyo saling berebut kekuasaan melalui perang kekuatan militer. Samurai berperan langsung dalam berbagai pertempuran besar yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu. Ironisnya, periode kekacauan ini justru menjadi titik awal menuju stabilitas, ketika Tokugawa Ieyasu berhasil menyatukan Jepang dan mendirikan Keshogunan Tokugawa. Perubahan besar dalam struktur militer dan politik pun terjadi, yang berdampak langsung terhadap peran sosial samurai.
- Zaman Edo (1603–1868): Dari Prajurit ke Birokrat
Di bawah pemerintahan Tokugawa, Jepang memasuki masa damai yang panjang selama lebih dari dua abad. Karena situasi tersebut, fungsi militer samurai perlahan digantikan oleh peran administratif. Banyak dari mereka beralih menjadi pegawai pemerintahan daerah atau birokrat di bawah struktur bakufu (pemerintahan militer pusat). Pedang yang dulu digunakan di medan perang kini lebih banyak berfungsi sebagai simbol status atau karya seni. Pembatasan penggunaan senjata turut mengubah karakteristik senjata samurai, dengan fokus yang bergeser pada nilai estetika dan spiritual. Meskipun demikian, nilai-nilai bushido tetap dipertahankan, bahkan dipromosikan sebagai ideal moral dalam masyarakat feodal Tokugawa.
Era samurai memang secara formal berakhir dengan adanya Restorasi Meiji pada tahun 1868. Namun warisan mereka masih hidup panjang dalam budaya Jepang modern. Nilai-nilai seperti disiplin, kesetiaan, dan kehormatan yang terkandung dalam bushido kini menjadi bagian dari etos kerja dan identitas nasional Jepang. Samurai bukan hanya tokoh militer dalam catatan sejarah, tetapi juga simbol budaya yang terus menginspirasi berbagai bentuk ekspresi seni, sastra, dan bahkan filosofi kehidupan. Dalam narasi sejarah Jepang, jejak samurai adalah narasi tentang kekuasaan, etika, dan transformasi sosial yang terus relevan hingga hari ini.
Penulis: Ross Roudhotul J. (Sastra Belanda 2022)
(Disadur dari artikel LBI Jepang karya Rizki Mustafa A.)