Sosrokartono: Poliglot, Penerjemah, dan Wartawan Perang
Halo, Sahabat LBI!
Di era sebelum munculnya internet dan aplikasi penerjemahan, terdapat satu sosok luar biasa yang berasal dari Indonesia dengan kemampuan menguasai puluhan bahasa dan dihormati di kancah internasional bernama Raden Mas Panji Sosrokartono. Beliau bukan hanya merupakan kakak dari pahlawan nasional R.A. Kartini, tetapi juga merupakan seorang jenius linguistik yang namanya harum hingga ke wilayah Eropa. Penasaran tentang kehidupan beliau? Mari kita bahas lebih dalam tentang sosok inspiratif ini!
Biografi Sosrokartono, Si Jenius dari Timur
R.M.P. Sosrokartono lahir pada tahun 1877 di Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga bangsawan Jawa, sebagai anak dari R.M. Adipati Ario Sosroningrat dan kakak kandung dari Raden Ajeng Kartini. Sejak kecil, Kartono sudah menunjukkan minat besar terhadap ilmu pengetahuan dan bahasa. Ia pun menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hoogere Burgerschool (HBS) yang merupakan sekolah elit khusus peranakan Belanda dan bangsawan pribumi.
Setelah menyelesaikan sekolah dengan prestasi gemilang, ia mendapat hak istimewa sebagai cucu dari Bupati Demak (setara raja pada masa itu) untuk melanjutkan studinya di Belanda. Hal ini menjadikan Sosrokartono mahasiswa pribumi pertama yang meneruskan pendidikan ke Belanda. Ia mengambil pendidikan Teknik Sipil selama 2 tahun sebelum akhirnya pindah ke jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Kartono pun lulus dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen dengan predikat summa cumlaude.
Sang Poliglot Sejati
Salah satu hal yang paling ikonik dari Sosrokartono adalah kemampuannya dalam berbahasa. Ia dikenal sebagai seorang poliglot sejati, yaitu orang yang menguasai banyak bahasa. Menurut berbagai catatan, ia dapat berbicara dalam 25 bahasa asing dan 10 bahasa daerah.
Sebelum mulai menimba ilmu di bangku sekolah, Sosrokartono telah menjadi seorang bilingual karena kefasihannya dalam menggunakan bahasa Belanda walaupun bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Kehausannya akan ilmu pengetahuan selama bersekolah membuat Sosrokartono mencari sumber informasi dari buku-buku yang belum diterjemahkan secara luas pada masa itu. Ia memulai dari bahasa Latin dan bahasa Inggris, kemudian bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa Mandarin, serta bahasa Sansekerta. Ketika lulus dari HBS, karya kelulusan yang ia tulis dalam bahasa Jerman diakui sebagai karya tulis terbaik pada saat itu.
Kemampuannya dalam menguasai berbagai bahasa ini membuatnya dijuluki sebagai "Si Jenius dari Timur" oleh orang-orang Eropa. Keahliannya pun ia gunakan untuk membangun karier dan kontribusi nyata di kancah internasional.
Jurnalis Perang Dunia I
Pada masa Perang Dunia I, Sosrokartono berhasil menjadi jurnalis untuk salah satu surat kabar paling bergengsi asal Amerika Serikat, yaitu The New York Herald. Kartono menduduki posisi tersebut setelah melewati persaingan sulit dengan kandidat-kandidat internasional lain yang memiliki reputasi baik. Berkat kemampuan bahasanya dan kemahirannya untuk menulis berita secara padat dan jelas, Kartono diangkat menjadi satu-satunya wartawan yang lolos untuk menjadi jurnalis yang meliput Perang Dunia I.
Menurut M. Hatta, Sosrokartono saat itu menerima gaji sejumlah 1.250 USD (setara dengan 31.093 USD di zaman sekarang). Bahkan panglima perang Amerika memberinya pangkat Mayor untuk memudahkan pergerakannya selama Perang Dunia I.
Dapat dikatakan bahwa Kartono tidak hanya sekadar “penulis berita”, tapi juga saksi sejarah yang menyaksikan langsung kekacauan perang dari jarak dekat. Berkat kejeniusannya, ia dipercaya untuk menyampaikan informasi dengan sudut pandang yang tidak biasa—yakni dari seorang intelektual Timur yang paham situasi dan kondisi di dunia Barat.
Penerjemah Kelas Dunia
Sebagai seorang poliglot sejati, Sosrokartono sering dipercaya sebagai penerjemah di sejumlah badan. Ketika lulus dari Universitas Leiden, Kartono bekerja sebagai penerjemah di Wina, Austria. Ia kemudian juga dipercaya sebagai juru bahasa (interpreter) oleh Blok Sekutu pada suatu perundingan di tahun 1918.
Setelah Perang Dunia I berakhir, Kartono direkrut oleh Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB) di Jenewa sebagai kepala juru bahasa. Tak hanya itu, pada tahun 1921, Kartono juga menjabat sebagai atase kebudayaan pada Kedutaan Besar Perancis untuk Belanda di Den Haag selama 4 tahun.
Pada tahun 1925, Kartono memilih untuk kembali ke tanah air. Selama sisa hidupnya, Kartono yang telah mendunia dan melanglang buana ini hidup secara low-profile—tidak menikah, tidak menerima jabatan tinggi yang ditawarkan Belanda, dan tidak hidup mewah layaknya seorang ningrat. Sebagai seorang sufi, Kartono memilih jalan hidup yang sederhana meskipun bisa saja menjadi seorang miliarder. Di rumah yang ia sewa di Kota Bandung, Kartono tetap berusaha untuk memberikan kontribusi secara nyata pada dunia pendidikan dan kesehatan rakyat setempat hingga akhir hayatnya.
Penutup
Tidak hanya seorang poliglot, Sosrokartono juga merupakan seorang jurnalis, penerjemah, dan tokoh spiritual yang luar biasa. Perjalanan karirnya di Eropa mengajarkan kita bahwa kemampuan bahasa bukan sekadar keterampilan komunikasi, tetapi juga kunci untuk memahami dunia dan membangun jembatan antarbudaya.
Jadi apakah Sahabat LBI tertarik untuk menjadi seorang poliglot seperti Sosrokartono? Atau Sahabat LBI justru terinspirasi untuk mendalami profesi penerjemah? Mari daftarkan dirimu di kursus bahasa asing dan kursus penerjemahan di LBI FIB UI! Siapa tahu kamu akan menjadi poliglot dan penerjemah hebat berikutnya.
Penulis: Nurul Fadjriah (Prodi Sejarah 2022)