Memaknai Keindahan Musim Gugur Lewat Tradisi Momijigari
Halo, Sahabat LBI!
Bagi masyarakat Jepang, bulan September merupakan penanda akan berakhirnya cuaca musim panas yang menyengat dan dimulainya suasana musim gugur yang lembut. Pada sepanjang bulan September hingga November inilah lanskap Jepang akan mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Suhu yang mulai menurun, udara yang terasa bersih, dan hamparan gradasi warna merah, jingga, dan kuning yang memenuhi setiap sudut jalanan dapat dirasakan oleh seluruh penduduk Jepang di berbagai prefektur.
Namun, tahukah Sahabat LBI? Di tengah keindahan tersebut, masyarakat Jepang juga memiliki cara tersendiri dalam memaknai keindahan musim gugur, lho! Tradisi itu disebut dengan Momijigari, atau yang dapat diartikan sebagai ‘berburu daun momiji’.
Daun Ikonik Simbol Musim Gugur
Daun momiji—atau secara umum dikenal sebagai daun maple Jepang—merupakan daun yang memiliki bentuk menyerupai bintang, dan telah menjadi simbol musim gugur serta pengingat akan segera tibanya musim dingin selama berabad-abad. Selain warna merahnya yang memukau, momiji sebagai suatu kata juga dikenal memiliki keunikan tersendiri.
Dalam penulisan bahasa Jepang, kanji momiji (紅葉) memiliki dua cara penyebutan yang berbeda, tergantung pada konteks yang ingin disampaikan. Jika Sahabat LBI ingin merujuk pada pohon maple Jepang atau daunnya yang berwarna merah, maka kanji tersebut harus disebut sebagai momiji. Sedangkan jika kalian merujuk pada fenomena perubahan warna pada berbagai spesies pohon, kanji tersebut patut diucapkan sebagai Kōyō. Meskipun terdapat perbedaan dalam cara penyebutan, fakta bahwa keduanya masih tetap mempertahankan unsur musim gugur itulah yang menjadikannya tidak hanya unik, tetapi juga ikonik.
Iroha momiji, atau maple Jepang berwarna merah menyala, merupakan salah satu jenis momiji yang sangat populer di negara ini. Namun selain jenis momiji ini, terdapat berbagai jenis maple lain yang tumbuh di Jepang selama musim gugur—mulai dari yama momiji yang tumbuh di dataran tinggi, kajikaede yang berwarna jingga cerah, hingga oomomiji yang memiliki daun jauh lebih lebar dan dapat ditemukan di sekitar kuil ataupun pegunungan.
Momijigari sebagai Pengingat Kefanaan Dunia
Saking ikoniknya, momiji acapkali diabadikan ke dalam berbagai karya seni Jepang. Mulai dari lukisan, teater, puisi, kerajinan tangan, maupun simbol pakaian, eksistensi momiji dapat Sahabat LBI temukan dalam beragam karya seni Jepang di berbagai era.
Sejak zaman dahulu, kebudayaan Jepang mengasosiasikan daun momiji dengan berbagai arti, mulai dari simbol kefanaan hidup, refleksi, bahkan nostalgia yang jauh dari masa kini. Selain dituangkan ke dalam karya seni, apresiasi akan keindahan momiji juga dilestarikan dalam suatu arus tradisi. Dilansir dari Tsukushi, tradisi memaknai daun momiji atau momijigari bahkan telah ada sejak periode Heian atau sekitar abad ke-8 hingga ke-12.
Selama periode tersebut, para bangsawan memiliki kebiasaan berkumpul di taman dekat pegunungan untuk menggubah puisi sambil mengamati daun yang perlahan berubah warna. Perubahan warna itulah yang menjadi alasan besar mengapa momiji dikaitkan dengan kefanaan hidup dan mengapa tradisi momijigari dapat lahir; karena fenomena yang dilalui daun itu secara tidak langsung memiliki kemiripan dengan kehidupan yang dapat berubah, dan tidaklah kekal ataupun abadi.
Meskipun zaman telah banyak berubah, tradisi ini masih berkembang dan dilakukan hingga sekarang. Kini momijigari sudah tidak lagi merupakan hobi eksklusif para bangsawan, dengan setiap tahunnya banyak orang berbondong-bondong datang ke Jepang demi berburu ragam pemandangan indah yang disajikan oleh daun momiji.
Penulis: Chika Ayu (Ilmu Sejarah, 2022)