Mengenal Tradisi Cap Go Meh
Halo, Sahabat LBI!
Hari Raya Imlek sudah berlalu, tapi rangkaian perayaannya belum usai lho! Setelah perayaan Imlek, orang-orang dari etnis Tionghoa di Indonesia dan Malaysia merayakan Cap Go Meh. Apa itu Cap Go Meh? Yuk, kita cari tahu!
Istilah Cap Go Meh berasal dari dialek Hokkien 十五冥 yang berarti ‘Malam ke-15’, di mana 十五(Cap Go) berarti ‘lima belas’ dan 冥(Meh) berarti ‘malam’. Dalam bahasa Mandarin, istilah Cap Go Meh memiliki penyebutan lain, yaitu 元宵节 (Yuánxiāojié) yang berarti ‘Festival Lampion’ dan 上元节(Shàngyuánjié) yang berarti ‘Festival Hari Pertama’. Sesuai dengan namanya, perayaan Cap Go Meh dilakukan pada malam ke-15 terhitung sejak Hari Raya Imlek, sehingga pada tahun ini Cap Go Meh dirayakan pada 12 Februari 2025. Perayaan Cap Go Meh juga bertepatan dengan bulan purnama pertama setelah Hari Raya Imlek lho! Hal ini disebabkan karena bulan purnama jatuh pada tanggal 15 kalender Tionghoa, sehingga Perayaan Cap Go Meh bisa dikatakan sebagai Perayaan Bulan Purnama pertama setelah Hari Raya Imlek.
Ada beberapa versi mengenai awal mula munculnya perayaan Cap Go Meh.
Versi pertama mengatakan bahwa Festival Cap Go Meh berasal dari kebiasaan para biksu Buddha yang memasang lampion pada malam ke-15 setelah Hari Raya Imlek sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Buddha. Kaisar dari Kekaisaran Han Timur (25-220) pada waktu itu, Kaisar Han Ming Di atau akrab dikenal sebagai Kaisar Ming, mendengar hal tersebut dan kemudian memerintahkan seluruh kuil, rumah tangga, dan bahkan istana untuk turut menyalakan lampion. Pada mulanya budaya ini merupakan sebuah perayaan keagamaan umat Buddha, namun perlahan budaya ini diadopsi oleh masyarakat Tionghoa pada umumnya dan menjadi sebuah perayaan yang besar.
Pada versi kedua, perayaan Cap Go Meh bukan berasal dari perayaan umat Buddha, melainkan dari sebuah legenda mengenai Kaisar Giok yang diperdaya oleh rakyatnya demi menyelamatkan sebuah desa dari kehancuran. Menurut legenda, pada waktu itu burung bangau—ada yang mengatakan angsa—kesayangan Kaisar Giok mati terbunuh oleh penduduk desa. Kaisar Giok yang mengetahuinya kemudian marah dan memutuskan untuk menghukum penduduk desa dengan membakar habis desa tersebut pada malam ke-15 sebagai hukuman atas terbunuhnya peliharaan kesayangannya. Putri dari Kaisar Giok mengetahuinya dan bersedih, yang kemudian memperingatkan penduduk desa atas malapetaka yang akan datang. Pada waktu itu, ada seorang pria bijaksana yang menyarankan warga untuk memasang lampion agar desa itu terlihat seperti terbakar oleh api sebagai upaya untuk menipu Kaisar Giok. Kaisar Giok melihat hal tersebut dan berpikir, apa gunanya Ia membumihanguskan desa tersebut saat desa tersebut sudah habis terlalap api. Desa akhirnya terselamatkan dari murka Kaisar Giok dan tradisi untuk menyalakan lampion pada malam ke-15 masih terus dilakukan hingga kini.
Perayaan utama pada Cap Go Meh atau Perayaan Lampion, sesuai namanya, dilakukan dengan menggantungkan lampion yang menandakan harapan yang lebih cerah di masa depan. Selain itu, Cap Go Meh juga pada umumnya diisi dengan pertunjukan barongsai.
Di Indonesia sendiri, terdapat banyak daerah yang memiliki tradisi dan budayanya masing-masing dalam merayakan Perayaan Cap Go Meh lho; terdapat Pawai Tatung di Singkawang yang serupa dengan pertunjukan “debus”, di mana bagian tubuh Tatung ditusuk oleh benda tajam seperti pisau atau pedang. Pawai ini dipercaya sebagai upaya untuk menolak bala dan mengusir roh-roh jahat dari kota.
Beda daerah, beda lagi budayanya; di Salatiga, Jawa Tengah, Cap Go Meh dirayakan dengan cara Ruwat Bumi, di mana patung-patung dewa diarak dalam pertunjukan budaya lokal.
Di Padang, perayaan Cap Go Meh dirayakan dengan festival arak-arakan Sipadan dan Kio. Sipadan merupakan kendaraan menyerupai lipan, sementara Kio merupakan semacam patung dewa atau leluhur.
Cap Go Meh merupakan salah satu festival penting bagi masyarakat etnis Tionghoa, akan tetapi perayaan Cap Go Meh bukanlah hari libur nasional seperti halnya Hari Raya Imlek. Meskipun demikian, perayaan Cap Go Meh merupakan perayaan tahunan yang selalu ditunggu-tunggu oleh orang-orang beretnis Tionghoa dan dirayakan dengan sangat meriah.
Penulis: Valerina Regina Caeli (Sastra Inggris, 2022)