Mengenal Masuk Angin, Penyakit yang ‘Indonesia Banget’
Halo, Sahabat LBI!
“Duh, badanku pegal-pegal nih… Masuk angin apa ya?”
“Dari tadi kentut terus, masuk angin kayaknya”
“Meriang, bersin-bersin, hidung meler, masuk angin ini fix…”
“Minum T*l*k A*g*in ah, biar badan enakan”
“Eh minta tolong kerokin dong, badanku enggak enak nih, masuk angin kayaknya”
Sahabat LBI tentu pernah atau malah sering mendengar kalimat-kalimat seperti itu. ‘Masuk angin’ biasa muncul saat udara terasa dingin, terutama saat musim hujan. Musim hujan seperti sekarang ini tak ayal membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Udara yang dingin juga seringkali menjadi penyebab orang-orang menjadi rentan dan jatuh sakit, salah satu penyakit yang sering muncul adalah ‘masuk angin’. Tetapi apa sih ‘masuk angin’ itu? Apakah ‘masuk angin’ itu benar-benar ada?
Yuk, kita simak!
‘Masuk angin’ pada dasarnya bukanlah suatu penyakit, melainkan kumpulan gejala yang dirasakan oleh seseorang, mulai dari perut kembung, sering buang angin, badan terasa tidak enak, pegal-pegal, sakit kepala, meriang, mual dan muntah, bahkan diare. Rasa tidak nyaman yang dirasakan ini pada dasarnya adalah gejala-gejala dari penyakit pencernaan dan juga gejala selesma, akan tetapi seringkali orang Indonesia mengasosiasikannya dengan 1 frasa saja, yaitu ‘masuk angin’.
Menurut pemahaman yang diyakini oleh masyarakat pada umumnya, ‘masuk angin’ berbeda dengan penyakit selesma. Dilansir dari artikel dari jurnal Frontiers in Psychology, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anggoro dan Jee (2021), orang Indonesia percaya bahwa penyakit selesma—atau lebih dikenal sebagai flu dan pilek—disebabkan oleh kuman dan dapat menular. Akan tetapi, gejala yang sama yang dipercaya sebagai ‘masuk angin’ dipercaya tidak menular. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat Indonesia bahwa ‘masuk angin’ adalah suatu penyakit tersendiri yang berbeda dan disebabkan oleh angin yang terperangkap di dalam tubuh manusia.
Lalu, mengapa angin yang menjadi kambing-hitam dari ‘masuk angin’? Hal ini tak lepas dari kepercayaan masyarakat Indonesia yang mengasosiasikan gejala-gejala yang dirasakan tersebut dengan fenomena angin yang terperangkap dalam tubuh. Di saat cuaca terasa dingin dan berangin, daya tahan tubuh cenderung melemah. Daya tahan tubuh yang melemah menjadi pemicu dari penyakit-penyakit yang muncul di kemudian waktu. Ditambah lagi, ‘masuk angin’ biasanya menyebabkan perut seseorang menjadi kembung dan menyebabkan keluarnya kentut atau sendawa. Proses mengeluarkan gas atau angin berlebih dalam tubuh ini lah yang dipercaya akan membuat tubuh terasa lebih enak dan plong; itu lah mengapa angin menjadi kambing-hitam dari ‘masuk angin’.
Pengobatan dari gejala-gejala ‘masuk angin’ pun tak lepas dari metode pengobatan dengan kearifan lokal Indonesia. Tidak ada obat medis yang dipercaya dapat menyembuhkan ‘masuk angin’, tetapi pengobatan alternatif lah yang menjadi solusi dari penyakit ini. ‘Masuk angin’ diobati dengan berbagai cara, mulai dari meminum obat herbal tradisional atau jamu seperti T*lak An*in, mengoleskan minyak kayu putih atau minyak angin ke tubuh, hingga bekam, dan kerokan. Saat kerokan, tubuh akan terlihat memerah; banyak orang percaya bahwa dalam proses kerokan ini semakin merah artinya semakin banyak angin yang dikeluarkan. Namun kulit yang terlihat memerah sebenarnya adalah karena pecahnya pembuluh darah kecil yang terletak di dekat permukaan kulit, yang dapat membantu melebarkan pembuluh darah sehingga menimbulkan sensasi pada tubuh yang terasa lebih nyaman.
Walau ‘masuk angin’ adalah penyakit yang Indonesia banget, ternyata “masuk angin” juga populer di negara-negara Asia lain lho, seperti Kabuhi dalam budaya FIlipina, 風邪を引く (Kaze wo Hiku) atau 風邪 (Kaze) dalam budaya Jepang, dan 伤风 (shāngfēng) dalam budaya Tionghoa. Walau berbeda-beda penyebutannya, tetapi dipercaya bahwa sumber permasalahan dari penyakit ini berasal dari angin, lho. Menarik ya?
Referensi:
Anggoro, F. K., & Jee, B. D. (2021). The Substance of Cold: Indonesians' Use of Cold Weather Theory to Explain Everyday Illnesses. Frontiers in psychology, 12, 734044. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2021.734044
Penulis: Valerina Regina caeli (Sastra Inggris, 2022)