Sejarah Blok M dan Nostalgia Tren Anak Muda Era 80an
Halo, Sahabat LBI!
Pernahkah kamu mendengar tentang Harajuku? Area yang terletak di antara Shinjuku dan Shibuya ini sangatlah terkenal, tidak hanya di Jepang, tetapi juga di telinga para turis yang berasal dari mancanegara.
Bagaimana tidak? Harajuku merupakan salah satu area yang digadangkan sebagai pusat budaya dan kiblat tren fesyen anak muda di Jepang. Titik paling ramai dari area ini terletak di Jalan Takeshita, di mana pengunjung akan disuguhkan dengan berbagai macam toko trendi, butik, cafe, toko aksesoris, hingga pemandangan sekumpulan anak muda yang memamerkan berbagai selera fesyennya, mulai dari yang kasual hingga ekstrim.
Namun, tahukah Sahabat LBI, bahwa di era 80 hingga 90-an, Indonesia juga memiliki area yang cukup mirip dengan Harajuku? Area itu tidak lain ialah tempat yang kita kenal sebagai kawasan Blok M. Bagi sebagian pendatang, Blok M mungkin hanya dilihat sebagai salah satu tempat nongkrong biasa. Padahal tempat ini merupakan saksi bisu perubahan lifestyle anak muda ibu kota dari masa ke masa.
Awal Mula Pendirian Blok M
Awalnya, Blok M merupakan salah satu kawasan yang diproyeksikan sebagai kota satelit Kebajoran. Ketika Jepang menyerah terhadap sekutu dan pemerintah kolonial yang sempat keluar dari Indonesia kembali di bawah NICA, Belanda mulai membuat suatu rencana yang mengajak para pihak swasta untuk merekonstruksi kawasan perumahan baru di wilayah Kebajoran tersebut. Sebagai langkah lanjutan, dibentuklah yayasan bernama CSW yang dilegitimasi lewat Surat Keputusan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 205, yang dikeluarkan pada 1 September 1948.
Dalam rencana pembuatan kota satelit ini, Kebajoran dibagi menjadi 19 blok yang terdiri dari Blok A hingga Blok S. Uniknya, sejak awal, Blok M memang telah menjadi kawasan utama di kota satelit ini. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut memiliki pasar, sekolah, kantor pemerintah, dan kantor CSW itu sendiri.
Proyek CSW terus dijalankan meski gejolak politik antara Indonesia dan Belanda masih terjadi. Proyek ini kemudian mengalami peralihan kepemilikan, tepat ketika terjadi kebijakan nasionalisasi perusahan Belanda. Meski demikian, proyek ini tidak terbengkalai dan justru rampung pada tahun 1955.
Pengaruh Budaya Barat dalam Tren Anak Muda 80an
Selama era 60-70-an, Blok M membuktikan ketangguhannya di dalam perubahan zaman. Jika dibandingkan dengan blok lainnya yang mulai kehilangan nama, Blok M justru mampu bersaing dan menjadi kawasan elit yang tak kalah bergengsi dari kawasan perumahan lainnya.
Pada era 80-an, kehidupan di Blok M menjadi semakin hidup berkat masuknya budaya Barat dan perkembangan musik dunia pada saat itu. Budaya Barat sendiri berhasil masuk dan menyebar di Indonesia melalui sejumlah media, seperti televisi, radio, dan majalah.
Dengan mudahnya akses anak muda terhadap entertainment yang berasal dari Barat inilah, anak muda kala itu mulai memperbarui selera fesyennya sesuai dengan apa yang mereka lihat. Di kalangan laki-laki ibu kota, mereka mulai mengubah gaya potongan rambutnya menjadi mullet dan shaggy. Sedangkan para perempuan mulai menyukai gaya rambut keriting ataupun yang disasak. Mereka juga mulai berani mengenakan pakaian berwarna nyentrik, celana jeans dengan potongan yang lebar, dan aksesoris seperti topi koboi, slayer, maupun sepatu pantofel.
Dalam percakapan, mereka juga mulai menciptakan bahasa gaul untuk berkomunikasi agar terlihat sangat trendy dan tidak ketinggalan zaman. Jika Sahabat LBI pernah mendengar kata “Nyokap” atau “Bokap”, itulah salah dua contoh dari bahasa gaul yang digunakan oleh anak muda kala itu. Mereka sendiri menyebut bahasa tersebut sebagai bahasa prokem.
Budaya Mejeng di Blok M
Dengan banyaknya tren yang muncul, para anak muda mulai memiliki keinginan untuk berkumpul bersama dengan para anak muda lainnya yang memiliki kesamaan selera. Maka, sebagai pusat wilayah yang sejak dulu sudah ramai, Blok M menjadi kawasan yang sangat tepat untuk melakukan kegiatan tersebut.
Mulanya, kegiatan berkumpul itu dilakukan oleh komunitas anak muda yang menggemari otomotif dan siswa SMA yang ingin menghabiskan waktu luang. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai komunitas dan tren mulai memadati kawasan ini hingga menciptakan budaya mejeng.
Mejeng ala anak muda saat itu memiliki bentuk yang sangat beragam. Ada yang berjalan-jalan dengan pakaian modis, memamerkan mobil di sekitar Lintas Melawai, sekadar duduk berkumpul bersama teman-teman, mengunjungi pertokoan yang berdiri di berbagai sudut jalan, hingga bermain sepatu roda bersama.
Sekarang, meskipun Blok M telah mengalami perubahan dan tidak lagi serupa dengan masa kejayaannya, jiwa para kawula muda masih tetap bertahan di tempat ini dan menjadi fondasi utama yang menjaga keberlangsungan eksistensinya. Kawasan ini telah menjelma seutuhnya, dari kota satelit biasa menjadi tempat menyimpan nostalgia lintas zaman yang tidak akan pernah padam ditelan perubahan.
Penulis: Chika Ayu (Ilmu Sejarah, 2022)