Mengenal Aya Huma, Sosok Bertopeng Warna-Warni dari Ekuador
Sahabat LBI yang berkunjung ke Festival El Día de la Hispanidad–yang diselenggarakan di LBI FIB UI pada hari Sabtu, 18 Oktober 2025–mungkin merasa familiar dengan penampilan sosok bertopeng satu ini. Sosok bertopeng warna-warni ini, yang disebut sebagai Aya Huma, memang hadir sebagai penampilan istimewa pada sesi seminar Kedutaan Ekuador. Akan tetapi, tahukah Sahabat LBI asal-usul dan bagaimana cerita mengenai Aya Huma berkembang di Ekuador? Untuk mengenal Aya Huma lebih jauh, yuk simak pembahasan berikut!
Di dataran tinggi Andes, khususnya di wilayah utara Ekuador–seperti Otavalo dan Cayambe–sosok unik ini selalu hadir dalam perayaan tradisional setiap tahunnya. Aya Huma tampil dengan mengenakan topeng dua wajah yang mencolok, gerakan tari yang penuh energi, dan kostum berwarna-warni yang mampu membawa Sahabat LBI masuk ke dalam suasana kosmik khas masyarakat adat Andes. Nama “Aya Huma” sendiri berasal dari bahasa Kichwa, yang kira-kira berarti “kepala roh” (aya = roh atau arwah, huma = kepala). Namun, Sahabat LBI jangan terburu-buru menganggap Aya Huma sebagai tokoh menyeramkan, ya! Justru sebaliknya, Aya Huma dalam kepercayaan masyarakat Ekuador dianggap sebagai penjaga keseimbangan alam dan pemimpin spiritual dalam berbagai upacara adat.
Figur Aya Huma paling sering muncul dalam festival Inti Raymi, perayaan tahunan yang digelar untuk menyambut titik balik matahari musim dingin sekitar tanggal 21 Juni. Festival ini menandai momen penting dalam kalender agraris masyarakat Andes, saat kekuatan Matahari kembali menguat dan musim tanam mulai berganti. Dalam perayaan ini, Aya Huma memimpin prosesi dan tarian, memainkan alat musik tradisional, dan menjaga agar energi negatif tidak mengganggu jalannya upacara. Gerakannya lincah, kadang tampak seperti melayang, seolah ia tidak sepenuhnya berasal dari dunia manusia.
Topeng dua wajah yang dikenakan Aya Huma pun memiliki arti dan fungsi tersendiri. Topeng tersebut memungkinkan Aya Huma untuk "melihat" ke dua arah–simbol dari keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, atau antara siang dan malam. Tak hanya itu, topeng ini biasanya dihiasi dengan “rambut panjang” dari benang, dan dilengkapi delapan “telinga” atau proyeksi, yang mewakili arah mata angin sekaligus unsur-unsur alam. Kostumnya dilengkapi dengan zamarros (penutup kaki dari kulit binatang), baju putih, dan cambuk yang menjadi atribut kepemimpinan dalam prosesi ritual.
Menariknya, dalam masa kolonial, Aya Huma sempat mengalami perubahan makna. Kolonialis Eropa cenderung melihat praktik lokal sebagai sesuatu yang berlawanan dengan ajaran Kristen dan mulai menyebut Aya Huma sebagai “Diablo Huma”, yang secara harfiah berarti "iblis berkepala." Padahal dalam tradisi lokal, sosok ini sama sekali tidak berhubungan dengan iblis. Ia lebih mirip dengan semacam penjaga kosmik yang melindungi komunitas dan menghubungkan manusia dengan alam dan roh leluhur.
Asal usul mengenai Aya Huma juga tidak lepas dari kisah-kisah lisan. Salah satu legenda menyebutkan bahwa seorang pria yang ikut dalam perayaan Inti Raymi pernah melihat sekelompok penari misterius berkepala dua yang tidak menyentuh tanah. Ia terpesona dan mulai menari bersama mereka–sebuah pengalaman yang diyakini membawanya masuk ke dalam dunia roh. Kisah-kisah semacam ini memperkuat kesan bahwa Aya Huma bukan hanya penampil upacara, tapi juga perantara antara dua dunia: dunia nyata dan dunia gaib. Saat ini, meskipun banyak aspek tradisional mulai bercampur dengan elemen modern, figur Aya Huma tetap hidup dalam memori dan praktik budaya masyarakat Andes. Bahkan, ia mulai muncul sebagai simbol budaya dalam berbagai bentuk–dari topeng yang dijual untuk turis hingga maskot acara olahraga. Namun, bagi komunitas yang masih menjaga tradisi ini secara turun-temurun, Aya Huma tetap memiliki makna yang jauh lebih dalam; ia adalah perwujudan dari keseimbangan, kepemimpinan, dan koneksi antara manusia dan alam semesta.
Bagaimana? Apakah Sahabat LBI tertarik untuk kembali menyaksikan pertunjukan Aya Huma?
Penulis: Ross Roudhotul (Sastra Belanda 2022)