Kisah Tunisia: Bagaimana Sejarah Membentuk Sebuah Bangsa
H.E. Mr. Mohamed Trabelsi
Duta Besar Republik Tunisia untuk Indonesia dan ASEAN
Untuk memahami budaya Tunisia, kita harus menelusuri sejarahnya yang kaya dan berlapis. Identitas bangsa Tunisia telah dibentuk oleh berbagai pengaruh selama berabad-abad—mulai dari bangsa Fenisia dari Kartago, Kekaisaran Romawi, dinasti-dinasti Islam, penguasa Ottoman, hingga masa penjajahan Prancis. Letaknya yang strategis di kawasan Mediterania menjadikan Tunisia sebagai pusat perdagangan serta kontributor penting bagi sejarah, kekayaan, dan keragaman budaya di wilayah tersebut. Sejarah panjang ini telah membentuk perspektif yang menghargai keterhubungan dengan dunia luar, sebagai bagian dari warisan Tunisia yang beragam dan terus berkembang. Setiap periode sejarah meninggalkan jejak yang menyatu dalam membentuk budaya Tunisia masa kini.
Sebelum menjadi kekuatan besar di Mediterania, para pedagang Fenisia dari wilayah Lebanon modern telah membuka jalur perdagangan laut dan mendirikan pelabuhan serta pusat perdagangan di sepanjang pesisir Afrika Utara, termasuk wilayah yang kini menjadi Tunisia (Kartago). Legenda menyebutkan tentang Elissa, seorang putri Fenisia yang melarikan diri dari saudaranya yang haus kekuasaan. Ia tiba di pesisir Afrika Utara sekitar tahun 814 SM dan, setelah ditawari sebidang tanah seluas kulit sapi, ia memotongnya menjadi potongan-potongan kecil dan mengklaim wilayah yang kelak menjadi kota Kartago.
Kartago berkembang pesat dari pemukiman kecil menjadi salah satu kota terkuat di Mediterania. Kota ini dikenal karena keahlian pengrajinnya, perdagangan yang makmur, serta pertanian yang maju. Pengaruhnya meluas ke Afrika Utara, Spanyol, serta pulau-pulau seperti Malta dan Sisilia. Sistem politik Kartago, yang dibentuk oleh keluarga Magonid, bahkan dipuji oleh Aristoteles karena keseimbangan dan keadilannya.
Awalnya, Kartago dan Roma menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan secara damai. Namun, seiring bertambahnya kekuatan Roma, ketegangan meningkat dan memicu Tiga Perang Punisia (264–146 SM). Dalam perang ini, Kartago kehilangan wilayah penting seperti Sisilia dan Sardinia. Perang Punisia juga melahirkan tokoh penting dalam sejarah Tunisia, yakni Hannibal Barca, yang terkenal karena memimpin pasukan menyeberangi Pegunungan Alpen dari Spanyol untuk menyerang Italia dalam Perang Punisia Kedua (218–201 SM). Meski awalnya sukses, ia akhirnya kalah dalam Pertempuran Zama. Kartago sempat bangkit kembali, tetapi dihancurkan sepenuhnya dalam Perang Punisia Ketiga (149–146 SM), dan penduduknya dijadikan budak. Roma kemudian membangun kembali Kartago sebagai pusat kekuasaan di Provincia Africa serta menjadi pusat seni dan pemikiran Kristen awal.
Bangsa Romawi meninggalkan jejak abadi dalam sejarah Afrika Utara, yang menunjukkan kejeniusannya dalam bidang arsitektur dan budaya. Infrastruktur Romawi berkembang pesat dengan jaringan jalan, saluran air, dan sistem irigasi yang luas. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah saluran air Djebel Zaghouan yang dibangun selama sebelas tahun dan mengalirkan jutaan liter air ke Kartago setiap hari (lebih dari 60 km). Amfiteater El Djem, yang kini menjadi situs warisan dunia UNESCO, menjadi simbol kejayaan arsitektur Romawi.
Kehidupan di Afrika Utara pada masa Romawi sangat dinamis, dengan kerajinan tembikar, mosaik, dan seni Kristen lokal yang memberi warna budaya di seluruh Mediterania. Ajaran Kristen pertama kali berkembang di kalangan miskin dan tertindas, lalu tumbuh meski menghadapi penindasan berat. Dari tanah ini pula lahir Santo Agustinus dari Hippo, salah satu pemikir terbesar dalam sejarah Kristen, yang pemikirannya membentuk dasar iman Kristen hingga berabad-abad lamanya. Namun, seperti halnya kekaisaran lainnya, Romawi pun runtuh. Enam abad setelah menaklukkan Kartago, kekuasaannya berakhir dengan datangnya suku Vandal dari Eropa Utara, disusul oleh Bizantium dari Kekaisaran Romawi Timur (533 M). Kehadiran Bizantium di wilayah Tunisia modern hanya bertahan sekitar satu abad.
Setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi, Tunisia menjadi bagian dari dunia Islam dengan berdirinya provinsi Ifriqiya pada tahun 705 M. Kota Kairouan didirikan oleh penakluk Arab sebagai ibu kota dan berkembang menjadi pusat penting pemikiran dan budaya Islam di Afrika Utara. Di bawah kekuasaan Dinasti Aghlabid, Kairouan menjadi kota peradaban Islam yang maju dan pusat keilmuan. Kota ini dikenal dengan pasar bukunya yang hidup, serta kemajuan dalam ilmu kedokteran, astronomi, teknik, dan penerjemahan karya-karya Latin. Masjid Agung Kairouan menjadi pusat pembelajaran dan simbol spiritual yang agung.
Di bawah pemerintahan Islam, Tunisia berkembang menjadi pusat intelektual dan budaya. Dari lingkungan ini lahirlah Ibn Khaldun pada tahun 1332 M, seorang pemikir tajam yang dikenal dengan realisme filosofisnya. Karya terkenalnya, Muqaddimah, menggambarkan dinamika peradaban, sejarah, dan kekuasaan. Ia menentang sistem pendidikan yang mengandalkan hafalan semata, dan mendukung metode pembelajaran bertahap yang berbasis pemahaman serta pengalaman langsung, termasuk melalui perjalanan. Pendekatannya ini kemudian memengaruhi sistem pendidikan modern Tunisia. Meskipun diakui sebagai Bapak Sosiologi dan Studi Peradaban Manusia, ketenarannya di tingkat global baru muncul setelah karyanya diterjemahkan pada abad ke-19. Warisannya tetap dihormati rakyat Tunisia, sebagaimana diabadikan dalam patung Ibn Khaldun di pusat kota Tunis yang diresmikan pada tahun 1978, sebagai penghubung identitas modern dengan warisan sejarahnya.
Kini, identitas budaya Tunisia merupakan cerminan dari sejarah yang panjang dan kompleks. Setiap era—dari pelaut Fenisia, arsitek Romawi, cendekiawan Islam, hingga pemikir modern—telah memberi kontribusi dalam membentuk warisan kolektif yang penuh keberagaman, ketangguhan menghadapi tantangan, kemampuan beradaptasi, dan keterbukaan terhadap dunia. Warisan ini tidak hanya terjaga dalam bentuk monumen atau manuskrip, tetapi juga hidup dalam nilai-nilai, tradisi, dan pandangan masyarakat Tunisia. Keterlibatan Tunisia di kawasan Mediterania dan semangat mengejar ilmu pengetahuan terus membentuk jalannya sejarah. Seperti telah terjadi selama berabad-abad, Tunisia tetap menjadi jembatan antar dunia, berakar pada masa lalunya namun selalu menatap ke luar, dan siap berkontribusi dalam komunitas global yang lebih luas.
_________________________________________________________________________________________________________________
The Story of Tunisia: How History Shaped A Nation
H.E. Mr. Mohamed Trabelsi
Ambassador of the Republic of Tunisia to Indonesia and ASEAN
To understand the Tunisian culture, we must first dig into its deep and layered history. Tunisian identity has been shaped by centuries of influence — from the Phoenicians of Carthage to the Roman Empire, the Islamic dynasties, the Ottoman rulers, and the French colonial area, creating a deep connection to the Mediterranean Sea. Its strategic position made it a hub for trade and a contributor to the region’s history, wealth and cultural diversities. It has fostered a perspective that values connection with the wider world, as part of Tunisia’s diverse and evolving heritage. Each era Tunisia went through, left its mark that weaved together the diverse threads which forms Tunisian culture today.
Before becoming a Mediterranean powerhouse, Phoenician merchants from modern-day Lebanon carved out Mediterranean trade routes, establishing ports and trade centers along North Africa coasts, including nowadays Tunisia (Carthage). Legend tells of Elissa, a Phoenician princess who, fleeing her power-hungry brother, arrived on the North African coast around 814 BCE. Offered as much land as could be covered by a cow skin, she sliced it into strips and claimed what became the city of Carthage.
Carthage grew from a small settlement into one of the Mediterranean’s most powerful cities. It became known for its skilled craftsmanship, thriving trade, and developed agriculture. As its influence spread across North Africa, Spain, and nearby islands like Malta and Sicily, Carthage became a force to be reckoned with, second only to Rome. Its political system that was shaped by the influential Magonid family was even praised by Aristotle for its balance and fairness.
Carthage and Rome initially maintained peaceful diplomatic ties and trade, however, as Rome’s power grew, tensions escalated that led to the Three Punic Wars (264–146 BCE). The Punic Wars weakened Carthage, which was forced to cede territories such as Sicily and Sardinia. The Punic Wars also saw the rise of one of Tunisia’s most important historical figures, Hannibal Barca, who famously, coming from Spain and crossing the Alps, invaded Italy during the Second Punic War (218-201 BCE), but was defeated at the Battle of Zama. Although Carthage managed to recover and rebuild for a time, it was ultimately destroyed in the Third Punic War (149–146 BCE), with its population enslaved. Rome rebuilt Carthage as a center of power in Provincia Africa, as well as a hub for the arts, and early Christian thought.
The Romans left a lasting mark on North Africa history that showcased their architectural and cultural genius. Roman infrastructure flourished with vast networks of roads, aqueducts, and irrigation systems. The aqueduct of Djebel Zaghouan, which took eleven years to build, delivered millions of gallons of water daily to Carthage (more than 60km). El Djem’s amphitheatre, now a UNESCO site, symbolizes Roman architectural prowess.
Life in Roman North Africa was rich and vibrant, with local pottery, mosaics, and Christian art shaping cultures across the Mediterranean. Christianity first took root among the poor and oppressed, growing stronger despite harsh persecution. Saint Augustine of Hippo, one of Christianity’s greatest thinkers, emerged from this land, his ideas shaping Christian faith for centuries. But even the strongest empires fall, and six centuries after Rome conquered Carthage, its rule on the African land came to an
end with the arrival of the Vandal Tribe from Northern Europe, followed by the Eastern Roman Byzantines (533CE). The presence of the Eastern Roman Empire in nowadays Tunisia only lasted a little over a century.
After the fall of the Roman Empire, Tunisia became part of the Islamic world with the establishment of the province of Ifriqiya in 705 CE. The Tunisian city of Kairouan was founded by the Arab conquerors as the capital, becoming a major center of Islamic thought and culture in North Africa. Under Aghlabid rule, Kairouan flourished as a center of Islamic civilization, and scholarship. The city became renowned for its vibrant book markets, and for advancing studies in medicine, astronomy, engineering, and translation from Latin. The Great Mosque of Kairouan became a hub of learning and a symbol of spiritual grandeur.
As Tunisia evolved under Islamic rule, it became a center of intellectual and cultural development. It was in this environment that Ibn Khaldun was born in 1332 CE. Known for his sharp intellect and philosophical realism, his seminal work ‘Muqaddimah’ explored the dynamics of civilization, history, and power. He challenged rote memorization in education, advocating for gradual, comprehension-based learning and practical engagement through travel. This approach later influenced Tunisia’s modern education system. Though recognized as the Father of Sociology and Human Civilization Studies, Ibn Khaldun’s global acclaim only emerged after his work was translated in the 19th century. Tunisians honor his legacy, symbolized by the 1978 statue of Ibn Khaldun in downtown Tunis aligning modern identity with his heritage.
Today, Tunisia’s cultural identity is a reflection of this deep, layered history. Each era, from Phoenician sailors and Roman architects to Islamic scholars and modern thinkers, has contributed to a collective legacy of cultural diversity, resilience to the external and internal challenges, adaptability, and openness to the world. This heritage is not just preserved in monuments or texts but lives on in the values, traditions, and perspectives of its people and society. Tunisia’s Mediterranean involvement and pursuit of knowledge continue to shape its history. Just as it has for centuries, Tunisia stands as a bridge between worlds, rooted in its past yet always looking outward, ready to engage with the broader global community.